Rabu, 17 Oktober 2012

IN VERBO AUTEM TUO LAXABO RETE


Selamat datang di blog Lingkungan Bernadette 3


Dalam blog ini kita sebagai Gereja menyadari betapa penting iman harapan dan kasih yang kita bagikan antar kita. Kita bisa saling meneguhkan dan saling memberi kekuatan. Untuk itulah blok ini ini dibuka agar kita bisa saling berbagi kasih melalui tulisan yang mecerahkan, tulisan-tulisan yang menggunggah iman, harapan dan kasih kita. Kita berharap agar blok ini bisa menjadi ajang diskusi dan berbagi pikiran dan pandangan dalam umat terutama umat lingkungan Bernadette 3 yang kita cintai. Semoga segenap umat bisa memanfaatkan sarana ini sehingga diantara kita terjalin kasih yang tulus, harpan yang teguh tanpa keputusasaan dan iman yang tangguh walau badai kehidupan menggoncang setiap detik hidup kita.
DOMINUS VOBISCUM

IN NOMINE PATRIS ET FILII ET SPIRITUS SANCTI
AMEN

Jumat, 12 Oktober 2012

MISTERI KEMATIAN

Manusia di Hadapan Kematian



Oleh:  R Edy Ambar Roostanto, S.Pd


1.    PENGANTAR PENULIS
Menurut statistilk setiap detik rata-rata ada 2 orang manusia yang mati, wafat atau meninggal secara normal baik karena usia lanjut maupun karena suatu penyakit. Hal ini berarti dalam 1 menit ada 120 orang yang mati secara normal dalam 1 jam rata-rata ada 7200 orang. Yang mati secara normal, dalam satu hari rata-rat 172.800 yang mati secara normal dan seterusnya. Data statistik  ini belum menyangkut orang yang mati secara tidak normal , misalnya karena kecelakaan, kebakaran , peperangan, bencana alam. Jika kejadian itu diperhitungkan dalam data statistik tentunya akan bertambah besar jumlahnya. Jika orang mati secara normal saja rata-rata per tahun mencapai 58.000.000 maka ditambah orang uang mati secara tidak wajar jumlahnya mencapai sekitar 60.000.000 per tahun.

Dalam hidup sehari-hari selama masih sehat walafiat,  jarang sekali orang berpikir mengenai saat kematiannya. Seakan akan hidup ini masih lama berakhir bahkan terasa takkan berakhir. Padahal setiap detik kematian datang untuk menjemput rata-rata 2 orang, tanpa dapat dihindari oleh siapapun. Jadi setiap kali kita melewati satu detik kita patut bersyukur kepada Tuhan, karena belum termasuk diantara 2 orang yang dijemput oleh kematian. Dan setiap kali kita merayakan ulang tahun pantaslah kita bersyukur,  kita belum termasuk diantara 60.000.000 orang yang dijemput kematian.

Dalam tulisan singkat saya ini anda akan diajak menelusuri pandangan para ahli dari para Filosof,Teolog dan juga Kitab Suci yang menjadi pedoman kita tentang misteri kematian. Yang kita bicarakan ini tentunya bukan merupakan hasil dari pengalaman eksperimental saya, juga bukan hasil pengalaman para ahli atau orang yang pernah mati. Namun tulisan ini hasil dari refleksi mendalam dan terutama hasil permenungan atas Sabda Ilahi. Saya selalu berpikir bahwa “semakin orang mengahayati kematiannya semakin orang menghargai kehidupannya”.  Coba anda simak dan renungkan sebuah puisi  yang berjudul Carpe Diem  yang merupakan ungkapan orang Romawi berikut.

Carpe Diem

Masa hidup kita terbatas dan karena terbatas maka sangat berharga.
Kematian justru mempertegas kenyataan ini.
Setiap jam setiap hari, setiap tahun dalam hidup kita adalah sungguh berharga.
Setiap saat dapat merupakan saat terakhir hidup kita.
Kematian memperingatkan kita supaya jangan menunda-nunda hidup ini.
Sampai akhir minggu, sampai waktu liburan, sampai sesudah pensiun.
Hidup ini selalu berarti kini dan di sini.
Tak satu menit akan kembali !
Waktu yang sudah lewat tak pernah akan kembali lagi.
Hidup tak pernah terulang kembali.
Hidup kita itu senantiasa mengalir, senantiasa berlalu.
Pengethuan kita mengenai kematian memiliki juga sisi positif di hadirat maut.
 Hidup tidak tertunda!
  Kita berada dalam waktu.
Dan waktu itu batas yang terakhir.
Orang Romawi tahu nilai waktu kini,
Mereka katakana “Carpe diem”, “gunakan waktu”.
Ungkapan ini mau mengajarkan betapa bernilainya saat kini dan di sini,
Bila ditempatkan di bawah hadirat maut 

Selamat merenungkan.

  
2.    FILSAFAT MENCOBA MEMBONGKAR MISTERI KEMATIAN
Pembahasan ini disusun dengan maksud mencari kejelasan tentang pertanyaan akan makna dan kemungkinan ultim kehidupan manusia. Jawaban yang diberikan ternyata bermacam-macam. Ada yang menganggap kehidupan kita "absurd" begitu saja. Ada lagi yang menganggap kehidupan ma­nusia tidak "absurd", tetapi wajar atau bahkan bermakna. Bila kepada kelompok terakhir ini ditanyakan lebih lanjut: Apakah gerangan yang merupakan makna dan kemungkinan terakhir kehidupan kita itu, maka dikemukakan lagi bermacam­macam jawaban yang dapat dibagikan ke dalam dua tendensi: para imanentis dan para transendentalis. Para imanentis beranggapan bahwa makna serta ke­mungkinan ultim kehidupan manusia terbatas pada dunia ini. Menurut mereka, makna serta kemungkinan ultim itu bisa ditemukan di dalam dunia ini, antara saat lahir dan saat mati. Para transendentalis berpendapat bahwa kehidupan duniawi ini harus dilampaui (ditransendensi) untuk memperoleh jawaban yang memadai atas pertanyaan tadi. Bila kita ingin merumuskan kedua pandangan ini dengan ringkas, maka para imanentis menganggap kematian sebagai mahkota atau paling tidak sebagai penyelesaian serta kemungkinan terakhir keberadaan kita, sedangkan para transendentalis mengharapkan sesudah mati masih ada kehidupan lebih lanjut. Bagi mereka, kematian adalah transisi atau peralihan, bukan penutupan dan peruntukan. Di antara para transendentalis timbul perbedaan pendapat lagi tentang cara bagaimana kehidupan lebih lanjut itu: Apakah kehidupan abadi harus dimengerti sebagai kehidupan personal atau nonpersonal? Bagaimanapun, kiranya sudah jelas bahwa pertanyaan akan makna serta ke­mungkinan ultim keberadaan kita mau tidak mau mengantar kita ke misteri kematian dan peluang untuk hidup terus di seberang maut.
Di zaman kuno Romawi sudah ada seorang filsuf yang memahami seluruh usaha filsafat sebagai suatu "permenungan mengenai kematian" (meditatio mortis), yaitu Seneca dan dalam filsafat abad ke-20, tema kematian mendapat perhatian baru, khususnya dalam eksistensialisme. Di bawah ini akan diselidiki secara garis besar bagaimana pandangan para filsuf mengenai kemungkinan untuk hidup terus di seberang rnaut atau, dengan kata lain, kemungkinan imortalitas (immortality). Akan tetapi, sebelumnya kita akan tanyakan dulu apa yang bisa diharapkan dari ilmu pengetahuan tentang masalah itu. Karena akan tampak para filsuf tidak bisa menghasilkan suatu pandangan yang pasti serta disetujui oleh umum, akhirnya akan kita lihat lagi bagaimana pandangan Gereja dalam hal ini. Namun kiranya sudah jelas bahwa, dengan peninjauan terakhir ini, kita mening­galkan landasan rasional. Kepastian yang diberikan oleh agama tentang hidup sesudah mati ini tidak dapat dibuktikan, tetapi diterima oleh para pemeluknya dalam konteks iman kepercayaan.
Sekarang kita mengajukan pertanyaan yang sama kepada filsafat: Apakah manusia bisa hidup terus di seberang maut? Apakah manusia — artinya "aku"          akan hidup terus sesudah mati? Apakah "aku" bisa hidup untuk selama-lamanya? Hampir semua filsuf besar pernah mendalami pertanyaan-pertanyaan ini dengan serius.
Beberapa filsuf, yaitu para materialis, tanpa ragu-ragu berani menegaskan: Manusia sebagai pribadi akan lenyap lagi dalam arus materi; ia tidak hidup dengan cara apa pun juga sesudah kematiannya. Pandangan mereka akan benar sama sekali seandainya asumsi mereka betul. Menurut asumsi ini, manusia tak lain adalah suatu susunan atau struktur yang terdiri dari daya dan materi. Pada saat kematian, struktur ini hancur dan dengan itu persona manusia terlebur. Para filsuf yang lebih berorientasi spiritualistis-dualistis tidak menerima pengandai­an materialistis ini dan karena itu sampai pada kesimpulan yang lain. Dalam zaman Yunani kuno, kesadaran akan imortalitas pribadi tidak pernah dikemukakan dengan tekanan begitu kuat seperti dalam filsafat Pythagoras dan Plato. Berikut ini akan kita simak pandangan beberapa filosof tentang hal ini.

PENDAPAT  PLATO
Apakah manusia itu? Pada awal mula ia adalah roh murni yang hidup dari kontemplasi akan yang ideal dan yang ilahi. Jadi kemungkinan dan makna ultim keberadaan manusia mula-mula terletak dalam kehidupan yang berkaitan erat dengan yang baik, yang benar dan yang indah. Namun kita tidak setia pada kodrat kita ini, kita tidak mewujudkan makna kehidupan sebagaimana menjadi kewajiban kita, kita bersalah karena menyimpang dari kiblat idea-idea itu.  Karena Roh berlawanan dengan materi demikian juga jiwa manusia bermusuhan dengan tubuh dan dipaksa bersatu dengannya. Kita langsung terhukum dengan dipenjarakannya jiwa dalam tubuh. Kita menjadi bagaikan malaikat-malaikat yang terjatuh dan sebagai hukuman dijelmakan dalam tubuh. Kematian, oleh Plato  dipandang sebagai terpisahnya jiwa dari tubuh manusia. Jiwa akan hidup terus tidak pernah mengalami kehancuran  karena jiwa dipandang oleh Plato sebagai idea sedangkan tubuh dipandang oleh Plato sebagai materia yang akan hancur. Maka pada saat kematian merupakaan saat jiwa dibebaskan dari badan seperti dari belenggu atau penjara. Dari pendapat Plato ini berarti tidak mungkin terjadi kesatuan kembali antara jiwa dan tubuh. Bersatunya jiwa dan tubuh dianggap sebagai sesuatu yang menyiksa. Bila dihubungkan dengan ajaran iman Kristiani, jelas ini dipandang sebagai anti Kristen, karena dengan ajaran ini berarti menolak akan adanya kebangkitan badan.


        PENDAPAT ARISTOTELES
Pribadi manusia dipahami sebagai suatu realitas secara intrinsik. Jiwa adalah bentuk (forma) badan, unsur intrisik pribadi manusia dan tidak dapat terpisah dari badan. Pandangan Aristoteles ini menekankan kesatuan erat tak terpisahkan sejak manusia hidup sampai dengan kematiannya. Berarti kematian  dipandang sebagai kematian pribadi.  
Kematian menimpa seluruh pribadi manusia. Pribadi orang tidak hanya jiwanya atau badannya saja, namun kedua-duanya.  Kematian tubuh berarti juga kematian jiwa. Jadi dari ajaran ini jelas Ariistoteles menegaskan tidak ada lagi kehidupan lain setelah kematian. Jelas ini juga bertentangan dengan ajaran Kristiani yang mengakui kehidupan kekal.

        PENDAPAT THOMAS AQUINAS
Dalam Abad Pertengahan (a.l. Thomisme), bukti-bukti untuk imortalitas dari Plato diteruskan. Pada umumnya tidak dibedakan antara "imortalitas" dan "hidup terus". Namun, dua hal itu tidak sama. Paham "imortalitas" bersifat lebih negatif: tidak bisa mati, tetapi "hidup terus" bersifat positif. Thomas Aquinas sudah menyadari perbedaan itu. Setelah mengemukakan pembuktiannya tentang imortalitas jiwa manusia, ia bertanya: Apakah Tuhan barangkali bisa menghancur­kan jiwa? Jadi, maksudnya ialah bahwa jiwa karena kodratnya tidak bisa mati, tetapi mungkin akan ditiadakan oleh Penciptanya. Bahwa jiwa (yang tidak bisa mati) akan hidup terus atau tidak, tergantung pada kehendak Tuhan. Dalam men­jawab pertanyaan ini, Thomas mendasarkan dirinya atas kodrat jiwa itu. la ber­pendapat bahwa Tuhan sebagai Pencipta memperlakukan segala sesuatu menurut kodratnya. Karena jiwa diciptakan sebagai tidak bisa mati, Tuhan untuk seterus­nya akan menghormati juga kodratnya itu. Demikian jawaban Thomas dalam bukunya Summa Theologiae I, a. 104, ad 4. Dalam bukunya yang lain De Potentia (5, a.3), Thomas menandaskan bahwa Tuhan memang bisa meniadakan sesuatu, tetapi pada kenyataannya ia tidak akan melakukannya (a.4). Di sini ia tidak berbicara tentang jiwa manusia saja, tetapi tentang penciptaan sebagai keseluruhan. Bila Tuhan telah mengadakan sesuatu karena kebaikan-Nya sendiri, la tidak akan pernah meniadakannya lagi. Bagaimanapun, Thomas membedakan antara imortalitas jiwa (menurut kodratnya tidak bisa mati) dan hidup terus. Pada kebanyakan pemikir Abad Pertengahan, dua hal itu disamakan begitu saja
Meskipun jiwa mempunyai keterarahan secara intrinsik pada materi , sesudah kematian jiwa dapat ada untuk jangka waktu tertentu tanpa keterarahan kepada materi sampai saatnya kelak jiwa dipersatukan kembali dengan badan dalam kebangkitan.

2.4.  PENDAPAT DUNS SCOTUS       
Pada akhir Abad Pertengahan sudah timbul pemikiran lebih kritis. Orang seperti Duns Scotus (1266-1308) dan Ockham (1285-1349) meragukan ke­mungkinan untuk membuktikan secara rasional bahwa jiwa akan hidup terus sampai kekal. Akan tetapi tentu saja mereka menerima hal itu atas dasar iman kepercayaan.

2.5. PENDAPAT IMMANUEL KANT
Dalam periode modern, Immanuel Kant (1724-1804) adalah pemikir yang sangat menarik tentang masalah imortalitas jiwa ini. la menolak bukti-bukti metafisis tentang imortalitas jiwa sebagai tidak meyakinkan. Rasio Teoretis tidak bisa mencapai kepastian bahwa sesudah kematian manusia, jiwanya akan hidup terus. Akan tetapi, atas dasar Rasio Praktis, Kant melihat suatu kemung­kinan. Menurut dia, adalah suatu postulat (tuntutan) dari Rasio Praktis bahwa tugas moral kita yang luar biasa itu akan berlangsung terus, juga sesudah mati. Dengan demikian alam baka tidak dianggap sebagai Firdaus yang ditandai kete­nangan serta kontemplasi, melainkan sebagai tempat abadi yang menyediakan peluang untuk kemajuan serta pengudusan terus-menerus. Lagi pula, Kant meng­anggap perlu juga bahwa yang baik dan yang buruk yang telah dilakukan di dunia ini akan dibalas kelak. Singkatnya, ia berpendapat begini: Seluruh tugas manusia untuk mengadakan suatu tatanan etis akan sia-sia belaka, kecuali diandaikan sebagai pasti bahwa jiwa akan hidup terus. Di samping itu, ia berpikir pula bahwa, adanya Tuhan harus diterima sebagai suatu kepastian bila kita ingin dapat sungguh-sungguh mewujudkan kebaikan moral. Motif-motif untuk secara praktis menerima imortalitas jiwa dan eksistensi Allah pada Kant bersifat etis belaka.
Namun, pada zaman kita sekarang banyak pemikir (di samping para materialis) tidak akan menganggap meyakinkan, baik argumentasi metafisis maupun motif etis untuk imortalitas jiwa.
Bahkan, dalam apa yang disebut eksistensialisme teistis (= yang mengaku adanya Tuhan) tidak ada banyak antusiasme untuk pembuktian metafisis yang  klasik, namun di situ orang menerima bahwa jiwa akan hidup terus atas dasar suatu refleksi eksistensial tentang kepercayaan, harapan, kesetiaan, dan cinta kasih.

2.6. PENDAPAT GABRIEL MARCEL
Gabriel Marcel berpendapat bahwa cinta akan orang lain mengatasi batas-batas maut dan kubur. Di dunia ini cinta akan orang lain masih terikat dengan yang lahiriah dan karena itu relatif sifatnya dan sering kali egoistik. Akan tetapi, jika orang yang dicintai sudah meninggal dan saya tetap setia padanya dalam cinta kasih, maka ia baru mulai hidup sungguh-sungguh untuk saya. Dalam keadaan itu, kesetiaan dan cinta kasih menjadi mutlak serta murni, sama langgeng seperti yang dicintai. Tubuh — sebagai alat hancur,tetapi bukan kesadaran. Communion (kebersamaan sehati sejiwa) berlangsung terus dalam persahabatan dan perennite (kelanggengan) merupakan pewujudan keberadaan manusia. Akhirnya, berdasarkan kepercayaannya akan Tuhan, Marcel memperoleh kepastian yang teguh bahwa "penghancuran" tidak akan pernah  mengancam orang yang dicintai.
Usaha untuk merefleksikan imortalitas jiwa dalam konteks etis tetap me­mikat hati banyak orang. Masalah kejahatan sulit sekali untuk diselesaikan bila kematian merupakan titik akhir yang definitif. Sulit sekali untuk diterima bahwa sesudah kematiannya, para korban rezim Hitler akan senasib dengan algojo-­algojo mereka. Banyak orang akan cenderung menerima sebagai semacam pos­tulat bahwa sesudah kematian yang baik dan yang buruk harus dibalas. Akan tetapi, bagaimana dapat dicapai kepastian melalui jalur ini? Paling tinggi kita bisa sampai pada suatu kepercayaan filosofis, seperti pada Karl Jaspers, suatu kepercayaan im Bunde mit dem Wissen (yang bersekutu dengan penge­tahuan). Di sini tidak mungkin dikemukakan suatu bukti yang meyakin­kan, hanya suatu petunjuk yang membuka perspektif untuk harapan.
Dapat ditanyakan lagi sejauh mana data-data parapsikologis bisa membantu untuk membuktikan bahwa sesudah manusia mati, jiwanya akan hidup terus. Data-data parapsikologis (misalnya, pengalaman dalam spiritisme) dalam hal ini memang menarik dan pantas dipelajari secara mendalam. Mungkin para filsuf sampai sekarang pada umumnya meremehkan bidang ini, walaupun ada juga orang seperti Gabriel Marcel yang dengan tekun mempelajari data-data para­psikologis dari sudut pandangan ini. Akan tetapi, kalaupun sudah terbukti bahwa kontak dengan jiwa orang mati merupakan pengalaman otentik dan bukan ilusi atau penipuan, apakah dengan itu terbukti juga bahwa jiwa hidup terus untuk selama-lamanya? Para ahli parapsikologi sendiri sering membatasi diri pada kemungkinan bahwa jiwa hanya hidup terus untuk suatu periode tertentu.
Akhirnya, harus kita singgung lagi masalah mengenai syarat-syarat untuk imortalitas jiwa. Tidak dapat disangkal, hubungan antara jiwa dan tubuh sangat erat, dengan memuncak dalam pertalian antara otak dan kesadaran. Bukankah para materialis harus disetujui bila mereka menekankan bahwa materi (dalam hal ini: otak) merupakan syarat mutlak bagi kehidupan psikis?
2.7. PENDAPAT Henri Bergson
Dalam hal ini, kita tidak boleh melewati pandangan Henri Bergson (1859-1941) yang hampir seumur hidupnya menekuni masalah di sekitar hubungan antara otak serta kesadaran dan kemungkinan jiwa hidup terus sesudah kematian. Terutama dalam bukunya 'energie spirituelle (Energi rohani), ia membahas masalah ini secara mendalam. Pertalian antara roh dan otak dibandingkannya dengan hubungan antara pakaian dan paku. Dalam kedua kasus itu terdapat suatu ketergantungan ekstern, bukan intern. Bila pakunya lepas, jas yang tergantung padanya pasti akan jatuh, tetapi masih tetap menyimpan identitasnya. Demikian juga sesudah kematian, kesadaran (jiwa) tidak bisa lagi mengekspresikan diri, tetapi tidak bisa dikatakan pula bahwa karenanya jiwa sudah hancur.
"Dalam kesadaran manusiawi terdapat jauh lebih banyak hal daripada dalam otak yang berkaitan dengannya. Itulah_______ menurut garis besarnya kesimpulan akhir saya,"kata Bergson. Imortalitas jiwa memang tidak dapat dibuktikan atas dasar eksperimen-eksperimen, namun suatu refleksi filosofis tentang peng­alaman menunjukkan bahwa kehidupan jiwa sesudah kematian, paling sedikit "probabel": "Jika sebagaimana kami telah berusaha memperlihatkan hidup psikis melebihi batas-batas otak dan jika otak mentransformasi sedikit saja dari yang berlangsung dalam kesadaran menjadi gerakan sel-sel, maka imortali­tas menjadi begitu probabel sehingga orang yang harus memberikan bukti ialah orang yang menyangkalnya, lebih daripada orang yang menegaskannya". Juga dalam bukunya Les deux sources de la morale et de la religion (Kedua sumber dari moral dan agama), berdasarkan suatu pendalaman terhadap data-data empiris, Bergson menyimpulkan "kemungkinan dan bahkan probabilitas bahwa jiwa hidup terus sesudah kematian", justru karena dalam arti tertentu ia tak tergantung pada tubuh.

3.    MAKNA KEMATIAN  DALAM  KITAB SUCI
Segalanya berawal dari Allah menciptakan alam semesta(Kej1:1), setelah itu Allah juga menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah pada hari ke 6(Kej1:27) yang agung dan mulia. Saat itu Allah telah mempunyai rencana yang indah bagi manusia. Kesegambaan dan keserupaan manusia dengan Allah ini terutama mengenai kekuasaan terhadap makhluk hidup yang lain, seperti ikan di laut, burung-burung di udaradan binatang di bumi(kej 1:26b.28c). Segambar dan serupa dengan Allah tidak berarti bahwa sehakekat dengan Allah, melainkan berarti ikut mengambil bagian dalam kekuasaan Allah atas segala makhluk hidup lainnya. Kekuasaan manusia terhadap semua makhluk hidup terutama tampak dalam pemberian nama kepada mereka(Kej2:19-20). Meskipun manusia diciptakan segambar dengan serupa dengan Allah namun manusia tetap fana. Sebab sesungguhnya manusia diciptakan hanya dari debu tanah(Kej 2:7).  Karena manusia berasal dari debu tanah, maka pada akhirnya mereka juga akan kembali menjadi debu tanah (kej3;19). Manusia hanya dapat menjadi makhluk hidup sejauh Allah masih memberi nafas hidup(Kej 2: 7). Jika Allah mengambil kembali nafas hidup itu maka manusia akan binasa dan kembali menjadi debu tanah(Ayb 34 : 14 – 15).
Mengapa manusia tidak dapat hidup abadi di bumi? Menurut Kitab Kejadian, ada dua pohon istimewa yang tidak boleh dimakan oleh manusia yaitu ”buah pohon kehidupan ” dan ”buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat”(Kej 2:9, 16-17). Maka Tuhan sengaja menempatkan pohon itu tersembunyi di tengah taman Eden(Kej2:9, 3:3). Tetapi atas godaan ular, binatang darat yang paling cerdik, akhirnya manusia berhasil untuk memakan buah pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat. (Kej3:1-7), sehingga mereka sama seperti Tuhan tahu yang baik dan yang jahat. (Kej 3 : 22a). Untuk mencegah manusia jangan sampai memakan pula buah kehidupan sehingga mereka hidup selama-lamanya(Kej 3:22b), Tuhan Allah akhirnya mengusir manusia dari taman Eden lalu menempatkan beberapa kerub atau malaikat dengan pedang bernyala-nyala dan menyambar-nyambar untuk menjaga jalan menuju ke pohon kehidupan. Dengan demikian walupun manusia  telah berhasil menjadi sama dengan Tuhan Allah dalam hal pengetahuan yang baik dan yang jahat, akan tetapi mereka tidak berhasil menjadi sama dengan Tuhan Allah dalam hal kehidupan untuk selama-lamanya (Kej 3:22).    
Mengenai keterbatasan umur manusia di dunia ini, Kitab Kebijaksanaaan (Keb2:1-5) membri nasehat demikian:
Pendek dan menyedihkan hidup kita ini, dan pada akhir hidup manusia tidak ada obat mujarab;
Seseorang yang kembali dari dunia orang mati tidak dikenal.
Serba kebetulan kita dijadikan, dan kelak kita ini seolah olah tak pernah ada.
Asap sajalah nafas di dalam hidung kita dan pikiran hanya merupakan bunga api dari denyut jantung kita.  Setelah  padam  maka  tubuh  akan   menjadi   abu  dan   rohnya  akan     disebar - sebarkan bagaikan udara yang halus.
Maka lambat laun nama kitapun terlupa pula dan pekerjaan kita tidak seorangpun ingat kepadanya.
Laksana jejak awan,  hidup kita berlalu bagaikan kabut menghilang dan dienyahkan oleh sinar matahari terkena oleh panas teriknya.
Umur hidup kita merupakan bayang-bayang yang berlalu dan akhir hidup  kita tak dapat ditunda karena sudah dimeteraikan dan tak seorangpun dapat merubahnya.

Jadi menurut kitab Kebijaksanaan ini batas hidup setiap manusia sudah ditetapkan oleh Allah, tanpa bisa ditunda atau dirubah oleh siapapun. Karena itu menurut Kitab Mazmur, semua manusia harus menyadari keterbatasan hidupnya supaya dapat mengisi hidup yang terbatas itu dengan bijaksana (Mzm 90;12)
      Ajaran Kitab suci mengenai masalah kematian tidak seragam,melainkan cukup bervariasi sesuai dengan perubahan pemahaman serta keyakinan bangsa Israel, umat Yahudi, dan jemaat Kristen awal. Seiring dengan perkembangan pengetahuan dan kepercayaan manusia sepanjang sejarah kitab Suci (1900 SM – 100 M). Berikut akan diuraikan 5 ajaran pokok Kitab suci mengenai kematian.

3.1           Kematian sebagai akhir kehidupan
Sebagai suatu makhluk hidup yang fana pada akhirnya manusia memang harus mati (Kej3: 19 ; Ayb 34 : 14 -15 ; Mzm 90 : 3 – 6 ; Pkh 12 :7). Allah memberi nafas hidup   kepada manusia (Kej 2:7), supaya mereka dapat hidup untuk jangka waktu tertentu tetapi tidak untuk selama-lamanya (Kej 3:22). Menurut Kitab Kejadian masa hidup manusia yang normal adalah 120 tahun (Kej 6 : 3). Sedangkan menurut Mazmur,  masa hidup manusia berkisar di antara 70 tahun dan 80 tahun. Jadi apabila manusia sudah mencapai usia tersebut maka mau tak mau ia harus rela untuk mati dan turun ke dalam kubur, sama seperti berkas gandum yang harus dipanen dan dibawa masuk ke dalam lumbung pada waktunya(Ayb 5:26). Bagi bangsa Israel, kematian yang ideal adalah mati bahagia pada usia lanjut, yaitu ketika rambut telah memutih semua lalu dikuburkan bersama nenek moyang(Kej 25:8, 35:29, Hak 8:32; 1 Taw 29:28,;Ayb 42: 16-17).
   
3.2           Kematian sebagai lawan kehidupan
Kitab Ulangan mengisahkan bahwa sebelum wafat, Musa menghadapkan kepada bangsa Israel dua pilihan yaitu kehidupan dan kematian, keberuntungan dan kecelakaan, berkat dan kutuk (Ul 30:15.19a). Musa menganjurkan mereka untuk memilih ”kehidupan” (Ul 30:19b) dengan mengasihi Tuhan dan mendengarkan firman-Nya.(Ul 30:16.20)
Kitab Yetremia mengisahkan bahwa ketika tentara Babel telah mengepung Yerusalem, Yeremia juga menghadapkan kepada bangsa Israel dua jalan yakni ”jalan kehidupan” dan ”jalan kematian”(Yer 21:8.10). Bertahan dan melawan tentara Babel berarti mati, menyerah kepada tentara Babel berarti ”hidup”.
Searah dengan Musa dan Yeremia, menurut Injil Matius, Yesus juga menghadapkan kepada para murid-Nya yakni ”jalan menuju kehidupan” dan ”jalan menuju kematian ” (Mat7 :13-14). Menurut Yesus pintu dan jalan menuju kepada kehidupan itu sesak dan sempit sehingga sedikit orang saja yang dapat masuk melaluinya. Sedangkan pintu dan jalan menuju kebinasaan itu lebar dan luas, sehingga banyak sekali orang yang dapat masuk melaluinya. Yesus menganjurkan kepada para murid-Nya untuk berusaha melalui pintu yang sempit. Supaya dapat sampai kepada kehidupan.  

3.3           Kematian sebagai perusak kehidupan
Mazmur menggambarkan kematian sebagai suatu kekuatan perusak dalam bentuk banjir yang setiap saat mengancam kehidupan manusia: ”Tali-tali maut telah meliliti aku, dan banjir-banjir jahanam telah menimpa aku, tali-tali dunia orang mati telah membelit aku, perangkap-perangkap maut terpasang di depanku!” (Mzm 18 :5-6). Sesuai kepercayaan orang Babilonia,  kekuatan perusak kehidupan dipikirkan sebagai sungai atau lautan yang memasang perangkap untuk menjerat manusia  dengan tali berupa banjir (Mzm 116:3). Kepercayaan semacam ini mudah dipahami mengingat banjir memang merupakan ancaman rutin bagi orang-orang di sekitar sungai Tigris dan Efrat, serta orang-orang yang tinggal di sekitar laut tengah. Yeremia melukiskan kematian seperti ”musuh” yang menyerbu masuk melalui jendela untuk membinasakan manusia (Yer 9 :21-22). Hosea melukiskan kematian seperti binatang buas yang mengintip dan siap menerkam mangsanya(Hos 13:7-8). Paulus melukiskan kematian seperti suatu ”serangga yang mempunyai sengat berupa dosa  (1Kor 15 :55-56), sehingga dapat menyebabkan kebinasaan bagi manusia(Rom6:23)

3.4           Kematian sebagai akibat dosa
Kitab kejadian dengan jelas mengisahkan akibat langsung dari dosa yang dilakukan manusia. Sebelum manusia jatuh ke dalam dosa,, mereka hidup harmonis bersama Allah dan semua binatang (Kej 2 : 8-25). Pada waktu itu manusia sama sekali belum kawatir terhadap ancaman kematian. Sekalipun Allah telah memperingatkan mereka (Kej 2 :15-17). Tetapi sesudah jatuh dalam dosa maka
·         Hubungan harmonis dengan Allah dan semua ciptaan mulai rusak (Kej 3:1-24)
·         Manusia mulai takut dan bersembunyi di antara pohon di taman (Kej 3:8-10)
·         Mulai bermusuhan dengan binatang dan saling mencelakai (Kej 3:15)
·         Manusia mulai tidak bersahabat dengan alam sehingga alam tidak memanjakan lagi seperti dahulu (Kej 3 :17 – 19)
·         Manusia saling mempersalahkan satu sama lain (Kej 3:11-13)
·         Manusia mulai malu atas ketelanjangannya (Kej 3 :7)
·         Manusia mulai mengalami penderitaan (Kej 3:16. 17-19)
·         Manusia diusir dari taman Eden ( Kej 3:23 – 24)
·         Mulai saat itu manusia kehilangan kesempatan untuk hidup kekal (Kej 3 :22)
·         Sesuai dengan kodratnya manusia setiap saat mulai terancam dengan kematian (Kej 3 :19)
Ancaman ini secara jelas dilukiskan pada kisah selanjutnya. Hanya gara-gara cemburu Kain tega membunuh Habel adik kandungnya sendiri(Kej 4 :1-8). Kain sendiri juga terancam pembunuhan oleh karena balas dendam(Kej 4 : 9-16). Begitu seterusnya sehingga pembunuhan demi pembunuhan terus terjadi. Jadi kematian merupakan akibat dosa, sangat mewarnai dalam Kitab Kejadian.
Anggapan bahwa dosa adalah penyebab kematian sangat populer dalam Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Misalnya dalam Kitab Bilangan dan Kitab Ulangan, Musa dengan jelas mengaitkan dosa dengan nasib buruk dan kematian yang menimpa bangsa Israel (bdk Bil 32:23; Ul 9:27-28). Dalam Kitab Samuel, dijelaskan alasan mengapa Allah melenyapkan keluarga Eli, yaitu karena dosa penghujatan anak-anak Eli yang tak terampuni (bdk 1 Sam 3:13-14). Dalam Kitab Raja-Raja, ditegaskan bahwa Allah menghajar orang Israel dengan pembuangan ke seberang sungai Efrat, karena dosa-dosa Yerobeam yang menyeret mereka (bdk 1 Raj 14:15-16). Dan dalam Kitab Ezra, dikisahkan bagaimana Ezra mengakui bahwa dosalah yang menyebabkan pen­deritaan dan kebinasaan bangsa Israel (bdk Ezr 9:13-15).
Bagaimana persis hubungan dosa dengan kematian manusia, dijelaskan oleh Paulus sebagai berikut: "Sama seperti dosa telah ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga , demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa!" (bdk Rom 5:12). Menurut Paulus, sejak zaman Adam, khususnya setelah Adam melanggar perintah Allah, dosa telah menjangkiti semua keturunan Adam, sehingga maut pun akhirnya mulai menjalar kepada seluruh manusia (bdk Rom 5:13­21). Bagi Paulus, "upah dosa ialah maut" (bdk Rom 7:23), dan "sengat maut ialah dosa" (bdk 1 Kor 15:56). Jadi jelas sekali bahwa ada kaitan erat antara dosa dengan maut, yaitu terdapat hubungan sebab-akibat di antara kedua­nya. Dengan kata lain, dosa merupakan penyebab maut, sedangkan maut merupakan akibat dosa!
Ajaran populer mengenai dosa sebagai penyebab penderitaan dan kematian manusia ini sering tidak sesuai dengan kenyataan konkrit, sehingga mulai diper­tanyakan kebenarannya. Sebab dalam hidup sehari-hari, sering terjadi bahwa orang berdosa justru bernasib mujur, sedangkan orang benar justru bernasib malang. Masalah ketidaksesuaian ajaran populer dengan kenya­taan konkrit inilah yang dibahas secara panjang lebar dalam Kitab Ayub. Melalui diskusi sengit tentang pe­nyebab penderitaan Ayub, penulis Kitab Ayub hendak menggugat ajaran tradisional, bahwa dosa adalah penyebab penderitaan dan kematian manusia. Dengan menampilkan tokoh Ayub yang "saleh, jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan" (bdk Ayb 1:1.8; 2:3), tetapi ternyata malah ditimpa penderitaan beruntun (bdk Ayb 1:13-19; 2:7-8), penulis Kitab Ayub mau menunjukkan kepada para pembaca, bahwa sesungguhnya tidak ada hubungan langsung antara penderitaan dan dosa manu­sia (bdk Ayb 13:15-16; 16:19-21; 23:3-5.10-12; 27:2-6; 33: 9-­11). Menurut penulis Kitab Ayub, penderitaan dapat me­nimpa semua orang, baik orang saleh maupun orang fasik, sama seperti kematian dapat menimpa "yang tidak ber­salah dan yang bersalah" (bdk Ayb 9:22). Sama seperti nasib baik, demikian pula nasib buruk merupakan bagian dari. hidup manusia yang harus diterima dengan hati lapang (bdk Ayb 2:10). Ketidaksesuaian ajaran populer dengan kenyataan konkrit dilukiskan dengan sangat bagus oleh Pengkhotbah yang berkeluh-kesah sebagai berikut: "Dalam hidupku yang sia-sia aku telah melihat segala hal ini: ada orang saleh yang binasa dalam kesalehannya, dan ada or­ang fasik yang hidup lama dalam kejahatannya!" (bdk Pkh 7:15). Menurut Pengkhotbah, kenyataan konkrit ini jelas tidak sesuai dengan ajaran populer mengenai dosa seba­gai penyebab penderitaan dan kematian, sehingga ia menganggap bahwa hidup ini sesungguhnya merupa­kan suatu kesia-siaan:
"Ada suatu kesia-siaan yang terjadi di atas bumi: ada orang-orang benar yang menerima ganjaran yang layak untuk perbuatan orang fasik, dan ada orang-orang fasik yang menerima pahala yang layak untuk perbuatan orang benar. Aku berkata: “Inipun sia-sia”  (bdk Pkh 8:14).
Dari kenyataan konkrit ini, Pengkhotbah akhirnya me­nyimpulkan bahwa penderitaan dan kematian sesung­guhnya tidak berkaitan langsung dengan dosa manusia. Karena ternyata penderitaan dan kematian dapat me­nimpa semua orang, baik orang benar maupun orang berdosa (bdk Pkh 9:2), baik orang bijak maupun orang bodoh (bdk Pkh 2:16). Penderitaan dan kematian sama sekali tidak membedakan orang saleh dari orang fasik (bdk Pkh 9:12), bahkan juga tidak membedakan manusia dari binatang (bdk Pkh 3:19). Sebagai makhluk fana, manusia memang harus mengalami penderitaan dan ke­matian, di samping kesejahteraan dan kehidupan. Sebab Allah telah mengatur suatu siklus rutin bagi manusia, ciptaanNya:
"Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal; ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap, ada waktu untuk menari!  (bdk Pkh 3:2.4).
 Bahwa penderitaan dan kematian tidak berkaitan langsung dengan dosa manusia, juga ditegas­kan oleh Yesus. Kepada orang-orang yang membawa ka­bar tentang pembunuhan orang-orang Galilea oleh Pila­tus, Yesus berkata:
"Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya daripada dosa semua orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib itu? Tidak! KataKu kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian. Atau sangkamu kedelapan belas orang yang ditimpa menara dekat Siloam lebih besar kesalahannya daripada kesalahan semua orang lain yang diam di Yerusalem? Tidak! KataKu kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian!"        (bdk Luk 13:2­5).
Dengan penegasan ini, Yesus menolak persangkaan orang banyak bahwa kematian tragis orang-orang Gali­lea dan kedelapan belas orang Yerusalem itu disebabkan oleh dosa dan kesalahan mereka yang besar. Menurut Yesus, malapetaka seperti itu dapat saja menimpa semua orang lain. Karena itu, orang perlu bertobat, supaya ter­hindar dari malapetaka seperti itu. Dan ketika para mu­rid-Nya melihat seorang buta sejak lahir clan bertanya: "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?" (bdk Yoh 9:2), Yesus menjawab: "Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia!" (bdk Yoh 9:3). Jadi menurut Yesus, tidak ada hubungan langsung antara kebutaan orang itu dengan dosa pribadinya atau orang tuanya. Orang itu lahir buta, "karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia", yang berarti "supaya rencana Allah terlaksana melalui dia". Pekerjaan clan rencana apa sesungguhnya yang di­buat oleh Allah merupakan misteri besar bagi manusia.Tema khusus tentang penderitaan manusia ini dapat anda perdalam lewat artikel saya sebelumnya yang berjudul “MENGAPA ADA PENDERITAAN?”
3.5   Kematian sebagai tidur lelap
Menurut pandangan kelima Kitab Suci ini, kematian merupakan suatu tidur lelap dan tak pernah bangun lagi. Kitab Yeremia melukiskan realitas kematian manusia sebagai "jatuh tertidur untuk selama-lamanya, tidak akan bangun-bangun lagi" (bdk Yer 51:39.57). jadi menurut anggapan Kitab Yeremia, "kematian" dapat disamakan dengan "tidur lelap" alias "tidur nyenyak" atau "tidur pulas" yang tak berakhir, karena berlanjut terus untuk selama-lamanya. Anggapan bahwa kematian adalah sama dengan tidur lelap yang bersifat abadi dan kekal ini juga dianut dalam kitab-kitab lainnya. Misalnya, Kitab Ayub melukiskan realitas kematian manusia seba­gai berikut: "manusia berbaring dan tidak bangkit lagi, sampai langit hilang lenyap, mereka tidak terjaga, dan tidak bangun dari tidurnya" (bdk Ayb 14:12). Senada dengan Kitab Yeremia dan Kitab Ayub, Kitab Mazmur juga menganggap kematian bagaikan tidur lelap yang tidak pernah bangun lagi, kecuali dibangunkan oleh Allah (bdk Mzm 3:6; 4:9; 13:4; 22:30; 90:5).
Mengenai ke­mampuan Allah untuk membangunkan orang-orang yang telah tidur lelap untuk selama-lamanya, Kitab Daniel me­negaskan sebagai berikut:
"Dan banyak dari antara orang­-orang yang telah tidur di dalam debu tanah, akan bangun, sebagian untuk mendapat hidup yang kekal, sebagian untuk mengalami kehinaan dan kengerian yang kekal!" (bdk Dan 12:2).
Dengan menggunakan ungkapan lain, Kitab Ye­saya menegaskan hal yang sama:
"Ya, Tuhan, orang­-orangMu yang mati akan hidup pula, mayat-mayat mereka akan bangkit pula. Hai orang-orang yang sudah dikubur di dalam tanah, bangkitlah dan bersorak-sorai. Sebab embun Tuhan ialah embun terang, dan bumi akan melahirkan arwah kembali!" (bdk Yes 26:19).
Berdasarkan anggapan bahwa "kematian" dapat disamakan dengan "tidur lelap", maka kata "tidur" kemudian sering dipakai sebagal pengganti kata "mati". Misalnya, ketika Lazarus sudah mati (bdk Yoh 11:14), Yesus berkata kepada para muridNya demi­kian:
"Lazarus, saudara kita, telah tertidur, tetapi Aku pergi ke sana untuk membangunkan dia dari tidurnya!" (bdk Yoh 11:11).
Menurut catatan Yohanes, yang dimaksudkan ­Yesus dengan kata "tertidur" sesungguhnya adalah "mati" (bdk Yoh 11:13). Jadi membangunkan Lazarus dari tidurnya berarti membangkitkan dia dari kema­tiannya (bdk Yoh 11:43-44). Bahasa halus seperti ini juga dipakai oleh Lukas dalam melukiskan kematian Ste­fanus. Menurut Lukas, setelah berdoa memohon peng­ampunan dosa bagi para pembunuhnya, Stefanus akhirnya "jatuh tertidur" alias "meninggal" (bdk Kis 7:60). Sekalipun orang-orang mati sudah tidur lelap, mereka masih dapat dipanggil dan dimintai pendapat oleh orang-orang hidup. Misalnya, ketika Saul sedang keta­kutan menghadapi orang-orang Filistin (bdk 1 Sam 28:5), dan Tuhan tidak menjawab pertanyaan dia (bdk 1 Sam 28:6), ia pergi meminta bantuan seorang perempuan pemanggil arwah untuk memanggil arwah Samuel (bdk 1 Sam 28:7-14). Karena terganggu dari tidurnya, Samuel menegur Saul yang memanggilnya untuk muncul (bdkI Sam 28:15). Kebiasaan untuk memanggil arwah orang yang sudah mati ini dilarang keras dalam Kitab Suci (bdk Im 19:31; 20:6; Ul 18:10-11; Yes 8:19).

4.    REFLEKSI KEMATIAN  DALAM ESKATOLOGI KATOLIK
Sebelum membahas lebih lanjut tentang kematian dalam eskatologi mungkin anda akan bertanya apa sebenarnya eskatologi itu? Eskatologi merupakan cabang Teologi yang merupakan ajaran tentang masa depan dan penyelesaian.  Bertolak dari pengalaman akan Allah yang telah berlalu, khususnya Yesus Kristus, cabang teologi ini merenungkan apa yang akan terjadi yang baru dan definitif lalu dari sana berusaha menginterpretasikan masa kini dan menyampaikan motivasi untuk bertindak sekarang ini.  Dalam eskatologi terbagi dua pembicaran yaitu Eskatologi Umum yang merefleksikan akhir kehidupan dunia  pada umumnya dan Eskatologi Khusus yang merefleksikan kematian manuisia secara individual. Eskatologi merefleksikan bukan pertama-tama pada apa yang terjadi sesudah kematian, melainkan hidup di dunia ini sejauh diakhiri oleh kematian. Akhir hidup dunia hanya menjadi real bagi manusia sejauh terwujud dalam akhir hidupnya sendiri. Eskatologi khusus pada pokoknya adalah teologi kematian. Maka dalam pembicaraan ini kita hanya akan membatasi pada pembicaraan eskatologi khusus.
Ada dua pertanyaan mendasar yang akan dibahas dalam pembicaraan kita tentang eskatologi khusus ini yaitu
1.    Bagaiamana orang mengalami iman dalam kematian ?
2.    Apakah makna kematian , dipandang dari sudut iman Kristiani?
Pertanyaan pertama ini didorong oleh adanya penelitian yang dilakukan oleh Elisabeth Kubler-Ross serta ahli lainnya misalnya W.Van Lommel mengenai orang-orang yang setelah dinyatakan secara klinis (denyut jantung berhenti dan otak tidak dikirimi darah sehingga otak tidak bisa bekerja) sempat direanimasi dan kemudian diwawancarai tentang pengalaman mereka saat kematian klinis.
Pertanyaan  kedua lebih didorong oleh karya tulis Karl Rahner yang berjudul Teologi Kematian yang pertama kali ditulis pada tahun 1958 yang kemudian selanjutnya disempurnakan dalam karya-karya tulis yang lain. Tulisan Karl Rahner ini sebagian memang kemudian menjadi pokok pikiran dalam Teologi Kematian,namun juga tidak sedikit tulisan-tulisannya mendapat kritik tajam.
Kita akan membahas secara mendalam dalam sub-sub tema berikut
a. Kematian sebagai pengalaman iman
Pendapat Ladislaus Boros         : Kematian merupakan saat pengalaman iman paling istimewa. Pada saat meninggal manusia dengan jelas mengambil sikap terhadap Allah. Saat itu bukan terjadi di dunia ini melainkan saat metafisis yaitu saat manusia beralih dari waktu dan ruang dunia ini ke alam baka.
Pendapat Collopy dan Jungel    : Saat kematian adalah saat paling gelap dan oleh karena
itu paling sulit bagi iman.
Pendapat Karl Rahner         : Kematian dipandang sebagai pengakhiran hidup dan oleh
Karenanya merupakan situasi iman yang secara hakiki tidak berbeda dengan situasi hidup yang lain. Sejauh menyangkut penghayatan iman saat kematian itu saat biasa sama seperti saat kehidupan yang mendahuluinya.    
      Boros memandang kematian sebagai saat manusia membuat keputusannya yang terakhir. Kematian dipandang sebagai perkembangan seluruh dunia  Hal ini mengikuti prinsip Teilhard de Chardin : ”Evolusi alam semesta di sisi yang satu terdapat perkembangan yang makin rohani dan di sisi lain ada proses penghabisan energi”. Gejala rangkap dua ini terdapat juga dalam hidup manusia. Dalam kematian, manusia lahiriah menghilang seluruhnya, tetapi bersama dengan itu berkembanglah manusia batiniah. Pada saat kematian, manusia mencapai puncak keaktifan rohani. Pendapat Boros ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh ahli kardiologi W.van Lommel sejak tahun 1988 mengenai 344 orang dewasa yang pernah ”hampir mati” dalam arti telah mengalami kematian klinis. Menurut laporannya dalam majalah medis kenamaan ” The Lancet ”, 14 Desember 2001, delapan belas persen dari para responden mengatakan mengalami kebahagiaan amat mendalam, telah bertemu dengan para kekasih, dan menghayati kembali seluruh hidupnya dalam sekejap, termasuk segala pikiran dan perasaan seumur hidup.
      Namun menurut Rahner, kematian bukan puncak dan keputusan definitif dibuat selama seluruh kehidupan yang menuju ke maut. Keputusan hidup terakhir dibuat sebelum kematian biologis.Manusia mempergunakan yang fana untuk mencapai yang baka, dan dengan demikian mengatasi yang fana. Saat kematian tidak berbeda dengan saat hidup sebelumnya. Maka ia menyangkal akan begitu istimewanya saat kematian  atau pendapat yang bersebrangan bahwa saat kematian manusia tak berdaya dalam kegelapan. Tidaklah benar bahwa kegiatan manusia saat kematian luar biasa, tetapi juga tidak benar pula bahwa tiada kegiatan sama sekali.
      Dari ketiga pendapat itu sebenarnya yang dipermasalahkan adalah keaktifan dan kepasifan manusia dalam kematian, bukan soal badan dan jiwa.
      Menurut Rahner kematian dipandang sebagai kesatuan unsur aktif dan pasif. Waktu meninggal paling pasiflah manusia, dan paling menderita sebagai ”person”. Aktivitas manusia waktu mati terletak pada pengharapannya akan tindakan Allah. Kalau badan berhenti, jiwa juga berhenti. Oleh karena itu secara hakiki kematian berarti kegelapan. Mati berarti jatuh, dan hanya dalam iman kejatuhan ini dapat diartikan jatuh ke dalam tangan Allah. Namun jangan mengira bahwa sikap iman itu baru muncul pada saat kematian. Orang meninggal sebagaimana ia hidup. ”Pelepasan” yang telah dilatihnya selama hidup terjadi secara paling padat saat kematian.

b. Kematian sebagai akhir hidup  
Karena kematian merupakan akhir hidup, Gereja menekankan bahwa dengan kematian tidak ada lagi kemungkinan untuk bertobat dan mengumpulkan ”pahala”. Manusia mengambil keputusan definitifnya bukan sesudah hidup di dunia ini, malainkan selama hidupnya di sini :  
Sebab barangsiapa malu karena Aku dan karena perkataan-Ku di tengah-tengah angkatan yang tidak setia dan berdosa ini, Anak Manusiapun akan malu karena orang itu apabila Ia datang kelak dalam kemuliaan Bapa-Nya, diiringi malaikat-malaikat kudus."       (Mrk 8:38)
Arti hidup manusia ditentukan di dunia ini. Kematian berarti penyelesaian pengembaraan manusia.  Dengan mati hidup manusia berakhir. Justru karena dasar biologis hidupnya mulai menghilang, kemungkinan untuk melaksanakan diri dengan sepenuhnya semakin berkurang Sesudah kematian, segala kemungkinan untuk memberi arti kepada hidup telah hilang. Apakah kematian akan menjadi kebangkitan berarti keselamatan ataukah kematian kekal? Hal itu tergantung orientasi hidup manusia di dunia ini.

c. Teologi salib
      ”Kita diselamatkan dalam pengharapan ”(Rm 8:24). Pengharapan kita bukan tak berdasar sebab dasarnya ialah wafat dan kebangkitan Kristus. Inti sari iman Kristiani adalah wafat dn kebangkitan Kristus sebagai peristiwa penyelamatan bagi seluruh umat manusia. Kristus membebaskan manusia dari kematian berkat wafat dan kebangkitan-Nya
·         Wafat Kristus adalah solidaritas Allah dengan manusia sampai ke dalam kematian
·         Dalam Kebangkitan Kristus, kesatuan Allah dengan manusia itu dibawa kepada pemenuhannya
Hubungan wafat dan kebangkitan Kristus dinyatakan Paulus dalam teks berikut:
Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci,
bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci; bahwa Ia telah menampakkan diri kepada Kefas dan kemudian kepada kedua belas murid-Nya.
(1 Kor 15: 3-5 )

Kematian bukanlah bagian dari rencana semula Allah, melainkan hukuman atas dosa. Upah dosa adalah maut (Rom 6:23). Sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, Adam, demikian juga dengan kematian dan kebangkitan satu orang, Kristus. Maka kematian Kristus memusnahkan dia yaitu iblis yang berkuasa atas maut
Karena anak-anak itu adalah anak-anak dari darah dan daging, maka Ia juga menjadi sama dengan mereka dan mendapat bagian dalam keadaan mereka, supaya oleh kematian-Nya Ia memusnahkan dia, yaitu Iblis, yang berkuasa atas maut;  (Ibr 2: 4 )
Sesungguhnya dengan kematian-Nya,  Kristus memusnahkan maut itu sendiri
dan yang sekarang dinyatakan oleh kedatangan Juruselamat kita Yesus Kristus, yang oleh Injil telah mematahkan kuasa maut dan mendatangkan hidup yang tidak dapat binasa.(2 Tim 1:10)
Maut tidak dapat menguasai Kristus
Tetapi Allah membangkitkan Dia dengan melepaskan Dia dari sengsara maut, karena tidak mungkin Ia tetap berada dalam kuasa maut itu.(Kis 2:24)

Dalam terang kebangkitan Kristus kematian memilki makna lain. Meskipun kematian tetap menakutkan, sekarang kematian dapat dilihat sebagai keuntungan

Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.(Fil 1:21)
Bahkan Paulus sendiri merindukannya,
“Aku didesak dari dua pihak: aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus--itu  memang jauh lebih baik”.(Fil 1:23)

d. Pengadilan dan akibat-akibatnya
      Dalam gagasan pengadilan dapat dibedakan dua segi yaitu Allah sebagai hakim dan manusia yang harus bertanggung jawab atas hidupnya. Gagasan Allah sebagai hakim sebenarnya berasal dari pandangan Israel bahwa YHWH membela umat-Nya dan menghukum musuh-musuh-Nya. Tuhan akan mengadili bangsa-bangsa pada hari Tuhan. Coba anda perhatikan beberapa petikan ayat berikut.

Beginilah firman Tuhan ALLAH: Celakalah nabi-nabi yang bebal yang mengikuti bisikan hatinya sendiri dan yang tidak melihat sesuatu penglihatan. (Yeh 13:3)

Berdiam dirilah di hadapan Tuhan ALLAH! Sebab hari TUHAN sudah dekat. Sungguh TUHAN telah menyediakan perjamuan korban dan telah menguduskan    para undangan-Nya. Zef 1:7)

Demikianlah TUHAN adalah tempat perlindungan bagi orang yang terinjak, tempat perlindungan pada waktu kesesakan.
Orang yang mengenal nama-Mu percaya kepada-Mu, sebab tidak Kautinggalkan orang yang mencari Engkau, ya TUHAN. (Mzm 9 :9-10)

      Penghakiman ini dilihat sebagai fungsi khusus dari Anak manusia (bdk Mat 25 :31) dan oleh karena itu diberikan kepada Yesus (bdk Yoh 5 :27). Berulang kali ditekankan behwa

Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia. (Yoh 3 : 17)

Akan tetapi walaupun tujuan perutusan Yesus bukan untuk menghakimi, ini tidak berarti tidak ada penghakiman. Sebab Tuhan juga bersabda demikian:
Barangsiapa menolak Aku, dan tidak menerima perkataan-Ku, ia sudah ada hakimnya, yaitu firman yang telah Kukatakan, itulah yang akan menjadi hakimnya pada akhir zaman. (Yoh 12:48)

      Pengadilan sebenarnya bukan tindakan baru yang ditambahkan sesudah orang melakukan perbuatan-perbuatannya, melainkan penampilan manusia dalam keadaannya yang sebenarnya.:
Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat. ( 2 Kor 5 :10)
      Dengan demikian pengadilan tidak boleh dilihat sebagai balas dendam atau sebaliknya balas jasa namuan pengadilan lebih tepat disebut penampakan di muka umum dari semua manusia dalam keadaan yang sesungguhnya. Pengadilan merupakan konfrontasi antara manusia dengan Allah yang tidak dapat ditipu.
      Perbedaan antara pengadilan pribadi dan umum tidak perlu ditonjolkan walaupun memang keduanya tidak sama. Dalam diri manusia memang harus dibedakan antara pusat kepribadian dan keterlibatannya dalam dunia material melalui tubuhnya. Dalam pengadilan sebagai penampakan di muka umum dari semua manusia dalam keadaan yang sesungguhnya terdapat segi pribadi dan segi kosmis sosial. Dengan menekankan pengadilan sedemikian rupa sehingga pengadilan umum menjadi manifestasi pada akhir jaman adalah kurang mengahargai sifat kosmis sosial manusia. Sebaiknya kita memandang pengadilan perseorangan dan pengadilan umum sebagai dua segi yang ada pada pengadilan manusia. Manusia bertanggung jawab atas semua yang dipikirkan dan dilakukan bukan hanya sebagai orang per orang namun juga sebagai anggota kelompok dan unsur lingkungan hidup yang dilengkapi dengan akal budi dan kehendak bebas. Maka manusia diadili menurut dua segi yang ada padanya.
      Kita harus menghindari gambaran pengadilan manusia ini seperti pengadilan yang ada di dunia ini dengan ada hakim, jaksa, saksi dan kita sebagai terdakwa. Atau kemudian digambarkan sebagai timbangan yang menimbang antara dosa dan pahala. Jika banyak dosanya maka setan akan bersuka cita karena akan dibawa ke dalam neraka. Pengadilan dipahami dalam konteks proses meninggal sendiri. Kematian adalah suatu tindak pribadi, saat seseorang membawa sejarahnya kepada kesudahannya yang final, definitif dan tak dapat dibatalkan. Dalam hal ini manusia menyatakan posisi atau sikapnya yang definitive berhadap-hadapan dengan Allah, posisi atau sikap yang diambilnya selama hidupnya. Dengan demikian seseorang  sebenarnya mengahakimi dirinya sendiri. Dalam proses meninggal ini seseorang tidak mungkin menipu sebab ia dibawa berhadap-hadapan muka dengan Allah. Apapun keputusan yang dibuat orang itu di hadapan Allah disahkan Allah dan dengan cara ini ia dihakimi oleh-Nya.
      Kematian bukanlah semata-mata berakhirnya kehidupan jasmani melainkan berakhirnya sejarah pribadi. Apapun yang menunggu kita sesudah kematian kita itu bukan kelanjutan yang tak henti-hentinya dalam dunia lain dari keberadaan kita dalam waktu ke dunia lain. Dengan kematian kita masuk kepada kehidupan kekal. Kita tidak dapat lagi mengubah keputusan radikal memihak atau melawan Allah yang telah kita buat selama hidup kita dan saat meninggal kita. Sebagai akibat dari pengadilan itu maka ada 3 kemungkinan yang bisa terjadi pada jiwa seseorang, yaitu mengalami kondisi:
1.  Surga                        sudah mencapai kepenuhan untuk bisa bersatu dengan Allah
2.  Neraka                      melawan Roh Kudus, tidak pernah akan bersatu dengan Allah.
3.  Api Penyucian            pasti selamat namun belum layak bersatu dengan Allah
Surga –Neraka
Segala gambaran tentang surga sebagai suatu tempat kediaman Allah harus dipandang hanya sebagai kiasan. Pokok yang mau diungkapkan sebenarnya Allah dan kesatuan manusia dengan-Nya. Dalam arti sempit langsung setelah orang meninggal hanya ada dua pilihan yaitu surga atau neraka. Api penyucian sebenarnya adalah suatu proses menuju surga.
Kita juga perlu membuang salah paham yang sudah umum yaitu bahwa surga dan neraka merupakan dua pilihan yang sama kedudukannya bagi kita untuk kita pilih. Seolah-olah Allah menciptakan dua tujuan akhir hidup kita. Sudah jelas bahwa satu-satunya kehendak Allah adalah agar semua orang diselamatkan dan tidak ada satu orangpun yang celaka untuk selama-lamanya.
Itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juruselamat kita,
yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran. ( I Timotius 2 : 3 – 4 )
Dalam Injil Yohanes Tuhan Yesus menyatakan demikian:
Dan Inilah kehendak Dia yang telah mengutus Aku, yaitu supaya dari semua yang telah diberikan-Nya kepada-Ku jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan pada akhir zaman. (Yohanes: 6 :39)

Di kalangan Teolog dewasa ini Karl Rahner dan Hans Urs von Balthasar telah menandaskan prioritas dan kemenangan rahmat Allah terhadap dosa. Pada prinsipnya hanya ada satu predestinasi yang akan dibicarakan dalam eskatologi Kristen yaitu kemenangan rahmat yang disempurnakan dalam penebusan.  Ada suatu asimetri antara kemungkinan serta kenyataan dosa manusia dan rahmat serta kasih Allah yang semakin besar.  Semakin manusia berdosa semakin Allah mencurahkan kasih-Nya. Maka tidak ada kesejajaran antara surga dan neraka. Orang harus berbicara tentang surga sebagai kenyataan dan tentang neraka sebagai suatu kemungkinan. Dalam Eskatologi,  kita  berbicara tentang  surga sebagai tujuan akhir hidup yang dikendaki Allah dan tentang neraka hanya sebagai penolakan manusia terhadap surga.
Surga berarti bahwa keadaan rahmat mencapai kesempurnaan yang definitif. Surga merupakan dialog cinta, komunikasi mendalam dengan Allah dan di antara orang kudus. Surga adalah persaudaraan sempurna semua orang kudus bersama Kristus dalam rumah Bapa dalam ikatan Roh Kudus.
Yesus sama seperti para nabi menggambarkan surga sebagai perjamuan pesta. Gambaran ini menekankan aspek sosial. Kita bersama sama menikamati surga di dunia tidak lain jika terjalin persaudaraan sejati yang sempurna. Dimana kita bis berhasil di dunia ini menanam cinta persaudaraan, di situ surga mulai berada di dunia ini. Cinta persaudaraan sejati sungguh membahagiakan dari pada segala sesuatu yang lain.
Demikian pula sebaliknya dimana tidak ada cinta dan kumunikasi di situ ada neraka. Neraka berarti manusia di dalam isolasi total, terkurung di dalam dirinya sendiri, tanpa kontak positif dengan orang lain, hanya meembenci dan menolak orang lain. Yesus sendiri dengan jelas berbicara tentang neraka :
Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. (Mat 5:22)
atau :
Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka (Mat 5:29 )

Jadi pembicaraan tentang neraka ini bukan sesuatu yang menarik. Namun kalau Yesus sampai bersabda demikian maka pastilah bahwa neraka secara real ada. Kita hanya bisa memilih neraka kalau kita menutup diri sekuat tenaga terhadap setiap usaha cinta Tuhan dan sesama.

Api Penyucian
Dalam salah satu audiensinya Bapa Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa api penyucian adalah keadaan yang kita alami setelah kita meninggal di mana kita dibersihkan dari segala noda dosa sebelum akhirnya diperkenankan masuk ke dalam surga. Bapa Suci menambahkan bahwa setiap orang yang hidupnya belum sempurna tetapi diperkenankan masuk ke surga harus terlebih dahulu tinggal dalam api penyucian. "Sebelum kita masuk dalam Kerajaan Allah, setiap noda dosa dalam diri kita harus dibersihkan, setiap cacat dalam jiwa kita harus disempurnakan. Itulah sesungguhnya yang terjadi di api penyucian,” kata Bapa Suci. Paus melanjutkan bahwa api penyucian juga bukan merupakan suatu tempat, "Api penyucian tidak menunjuk pada suatu tempat, melainkan suatu kondisi kehidupan. Mereka yang, setelah meninggal, tinggal dalam keadaan penyucian telah dibenamkan dalam kasih Kristus, yang akan mengangkat mereka dari sisa-sisa ketidaksempurnaan." Kemudian Paus mendorong umat Kristen untuk berdoa dan melakukan perbuatan-perbuatan baik demi jiwa-jiwa di api penyucian.
Untuk mempermudah pemahaman kita, mari kita menggunakan suatu perumpamaan. Coba bayangkan: anda diundang untuk menghadiri suatu pesta yang agung. Setiap orang yang hadir mengenakan pakaian serta gaun mereka yang terindah, rambut mereka tertata rapi, dan tubuh mereka bersih serta harum. Tuan rumah membuka pintu dan mempersilakan anda masuk. Tetapi anda berdiri di depan pintu dengan pakaian gembel yang bau, rambut kalian acak-acakan, tubuh anda dekil dan perlu dibersihkan. Apakah anda akan masuk ke dalam ruang pesta?
Saudara-saudari kita kaum Protestan bersikeras bahwa hanya ada dua pilihan setelah kita meninggal dunia, yaitu: Surga dan Neraka. Sementara umat Katolik percaya bahwa ada pilihan lain sesudah kita meninggal, pilihan yang membuat kita amat bersyukur yaitu: Api Penyucian. Akan sangat mengerikan sekali jika kita hanya dihadapkan pada dua pilihan saja: Surga dan Neraka, sebab jarang sekali ada orang yang demikian kudus hidupnya sehingga dapat langsung masuk ke surga. Oleh karena Belas Kasih Allah kepada umat manusia maka kita diberi kesempatan untuk memurnikan diri sebelum masuk ke surga yaitu melalui api penyucian.
Api Penyucian memang secara spiritual amat menyakitkan sebab jiwa-jiwa yang tinggal di sana sangat ingin berada bersama dengan Allah tetapi tidak bisa. Pada saat yang sama dalam api penyucian ada sukacita besar sebab jiwa-jiwa yang tinggal di sana percaya bahwa setelah masa tinggal mereka di api penyucian berakhir maka mereka pasti diperkenankan masuk ke dalam kebahagoiaan surga.
Untuk membahas tentang api penyucian lebih lanjut berikutnya anda akan menyimak bagian khusus berikut yaitu Api Penyucian atau Purgatorium secara lengkap baik dasar biblisnya dan ajaran Gereja Katolik yang diimani sampai sekarang.


5.    PURGATORIUM(API PENYUCIAN)



Allah menciptakan alam semesta, juga menciptakan manusia sesuai dengan
gambar dan rupa  Allah


Maka Allah menciptakan manusia itu menurutgambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-                      Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.     (Kej 1:1 )
             

Tetapi karena godaan dan tipu muslihat iblis, manusia jatuh dalam dosa. Setiap manusia yang terlahir ke dunia secara turun temurun berada dalam kondisi berdosa. Manusia terpisah dari Allah.



Jadi bagaimana? Adakah kita mempunyai kelebihan dari pada orang lain? Sama sekali tidak. Sebab di atas telah kita tuduh baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, bahwa mereka semua ada di bawah kuasa dosa, seperti ada tertulis: "Tidak ada yang benar, seorangpun tidak. (Roma: 3 :9-10 )

Bagi orang yang tidak mau bertobat sampai mengahadapi ajalnya sekalipun, mereka itu mati binasa  , tempat bagi jiwa mereka adalah kutukan kekal , neraka abadi.
Tetapi kepada manusia yang mau bertobat tetapi meninggal dalam keadaan yang belum bersih sempurna maka akan mengalami proses pemurnian yg disebut api penyucian(purgatorium). Mereka tidak dapat langsung masuk ke dalam surga karena di surga kudus tempat Allah, tempat penuh kemuliaaan, kekudusan, tidak ada iri,  dengki, benci dsb.
Tiga kutipan Kitab Suci berikut menunjukkan kekudusan surga :

sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus. ( I Petrus: 1 : 16)

Sebab Akulah TUHAN, Allahmu, maka haruslah kamu menguduskan dirimu dan haruslah kamu kudus, sebab Aku ini kudus, dan janganlah kamu menajiskan dirimu dengan setiap binatang yang mengeriap dan merayap di atas bumi.
 Sebab Akulah TUHAN yang telah menuntun kamu keluar dari tanah Mesir, supaya menjadi Allahmu; jadilah kudus, sebab Aku ini kudus.  (Imamat: 11:44-45)

Tetapi tidak akan masuk ke dalamnya sesuatu yang najis, atau orang yang melakukan kekejian atau dusta, tetapi hanya mereka yang namanya tertulis di dalam kitab kehidupan Anak Domba itu.  (Wahyu: 21:27)

Dari gambaran tentang kudusnya surga , maka tidak mungkin ada jiwa yang berdosa sedikitpun di surga. Mereka yang berada dan bersatu bersama Allah adalah mereka yang sama sekali tidak berdosa. Sulit sekali kita membayangkan dengan kenyataan hidup kita sehari-hari yang harus terlibat dengan dosa walupun kecil. Kedengkian, iri hati, benci, kawatir dan kurang mengandalkan Tuhan, tidak jujur dengan diri sendiri, egois, mudah marah dan seterusnya yang sebenarnya merupakan dosa kecil yang membuat kita mustahil masuk surga namun kita anggap bukan dosa karena sudah biasa. Sepertinya hanya sedikit orang yang bisa masuk surga. Namun Tuhan memilki kehendak lain karena begitu kasihnya pada manusia. Kita bisa simak kutipan Injil berikut seperti disabdakan Tuhan.

Apabila seorang mengucapkan sesuatu menentang Anak Manusia, ia akan diampuni, tetapi jika ia menentang Roh Kudus, ia tidak akan diampuni, di dunia ini tidak, dan di dunia yang akan datangpun tidak.   (Mat 12 :32)

Santo Gregorius memberi penegasan makna sabda Tuhan Yesus  tersebut.  Ada dosa yang tidak pernah bisa diampuni baik di dunia ini ataupun di dunia akan datang. Dosa tersebut adalah menentang Roh Kudus. Dosa menentang Roh Kudus adalah dosa menentang karya Roh Kudus sendiri dalam diri seseorang. Wujud nyata penetangan itu adalah tidak mau bertobat.  Jika sampai meninggalpun seseorang tidak mau bertobat maka dosa ini tidak pernah bisa diampuni baik di dunia ini maupun di dunia yang akan datang. Dari sabda Yesus ini secara logis bisa ditarik konklusi yang lain yaitu ada dosa yang bisa diampuni baik di dunia ini . Dosa tersebut adalah dosa selain menentang Roh Kudus. Sehingga seseorang  pasti diampuni dosa-dosanya selama ia mau bertobat dan berbalik kepada Allah, menyambut dengan gembira karya Roh Kudus. Semangat pertobatan perlu dibangun setiap hari setiap saat. Itulah perlunya setiap kali kita harus memeriksa batin kita setiap saat setiap hari. Ada konklusi khusus yang bisa ditarik juga, yaitu ada dosa yang diampuni di dunia akan datang. Proses pengampunan dan pemurnian inilah yang kita sebut api penyucian, bukan api pencucian karena bukan untuk dicuci namun disucikan.  
Adanya proses pemurnian dan pengampunan setelah seseorang meninggal dengan jelas dinyatakan dalam  2 Makabe 12 : 38 – 45.  Di situ dikisahkan bahwa Yudas mengumpulkan derma dan kemudian mengirimkan derma yang terkumpul ke Yerusalem untuk mendapatkan kurban silih bagi beberapa prajuritnya yang gugur yang ternyata mengenakan jimat-jimat pelindung yang terlarang. Korban penebus salah untuk semua orang yang sudah mati itu supaya mereka delepaskan dari dosa mereka rupanya menunjukkan kepercayaan akan api penyucian. Kemudian ditegaskan pula pada ayat 44 yaitu
Sebab jika tidak menaruh harapan  bahwa orang-orang yang gugur itu akan bangkit, niscaya percuma dan hampalah mendoakan orang mati

Namun bagi kaum reformis alasan ini tidak dipandang sebagai bukti biblis karena kitab Mkabe  ini dipandang sebagai apokrip oleh kaum reformis sehingga bukan menjadi sumber kebenaran iman .
      Teologi dewasa ini lebih memandang api penyucian sebagai proses pemurnian dari pada memandangnya sebagai tempat yanag dalam bahas Latin disebut Purgatorium. Proses pemurnian ini dipikirkan sebagai proses pematangan dan bukan sebagai silih atas kesalahan. Pematangan itu dilukiskan oleh Rahner sebagai suatu proses pribadi orang menjadi matang melalui proses setapak demi setapak. Manusia adalah realitas pribadi yang bertingkat-tingkat, apabila manusia kembali kepada Allah pusat kepribadiannya yang paling batiniah dapat dijadikan utuh langsung oleh rahmat Allah, tetapi proses penyembuhan pada tingakat jasmani, psikologi dan rohani juga dapat merupakan transformasi bertahap dan pedih. Proses pematangan inilah yang disebut api penyucian.   
      Gereja menyebut penyucian terakhir orang-orang terpilih ini Api penyucian yang sama sekali berbeda dengan hukuman orang-orang terkutuk. Hal ini dituangkan dalam Katekismus Gereja Katolik nomor 1030 dan 1031 berikut :
1030:  Siapa yang mati dalam rahmat dan dalam persahabatan dengan Allah namun belum disucikan  sepenuhnya memang sudah dipastikan keselamatan abadinya, tetapi ia masih harus menjalani satu penyucian untuk memperoleh kekudusan yang perlu, supaya dapat masuk dalam kegembiraan surga
1031:  Gereja menamakan penyucian akhir para terpilih, yag sangat berbeda dengan siksa para terkutuk, yaitu purgatorium (api penyucian).
Menurut para teolog, ada dua macam hukuman di Api Penyucian,
Pertama   : hukuman karena perasaan kehilangan Tuhan
Kedua        : hukuman karena sesal batin yang tak kunjung henti.         
Hukuman karena perasaan kehilangan Tuhan diakibatkan oleh hilangnya kesempatan berjumpa dengan Allah, sumber segala Kebajikan, tujuan akhir manusia. Inilah kehausan moral yang menyiksa jiwa-jiwa. Hukuman karena sesal batin yang tak kunjung henti menyengkut penderitaan yang dapat dirasakan sebagaimana hukuman fisik yang dapat kita raakan.
Menurut Santo Fransiscus de Sales, mereka tidak bisa berbuat dosa lagi, atau tidak melakukan ketidaksabaran sedikitpun , atau tidak melakukan ketidaksempurnaan sedikitpun. Mereka lebih mengasaihi Allah daripada dirinya sendiri dan segala sesuatu. Mereka mengasihi Dia dengan kasih yang sempurna dan tanpa pamrih. Mereka dihibur oleh para malaikat dan diteguhkan oleh keselamatan kekal dan dipenuhi pengaharapan yang tak pernah mengecewakan. Mereka dimurnikan dan dibakar oleh nyala api cinta kasih Allah.  
Jiwa jiwa dalam api penyucian tidak dapat berbuat apa-apa, tak berdaya, mereka menanti belas kasih Allah. Manusia yang masih hidup di dunia harus mendoakan mereka dan mempersembahkan Misa untuk mereka. Kita tidak perlu mendoakan mereka yang di surga atau di neraka.

FAKTA ADANYA PURGATORIUM
Ø  Wahyu Yesus kepada Suster Faustina(1905 – 1938)
·         Doakan doa koronka dalam kelompok-kelompok dan bawa jiwa-jiwa kepada Tuhan Yesus, hari demi hari semua pendosa para biarawan biarawati orang yang belum percaya, jiwa-jiwa saudara-saudara yang murtad, jiwa-jiwa di api      penyucian, jiwa yang acuh tak acuh, orang yang saleh dan setia, orang-orang        yang lemah lembut dn rendah hati.
·         Mereka tinggal dalam kurungan sempit dan mereka perlu dibenamkan dalam samudra kerahiman ilahi
Suster Faustina meninggal pada usia 33thn karena sakit TBC dan oleh Paus Yohanes Paulus II II diberi gelar Santa pada tahun Yubelium Agung 2000.
Ø  Penampakan kepada  Santa Margretha Maria Alocoque, Santo Getrudis, Santa Katarina dan Genoa, Santo Yohanes Don Bosco, Santo Yohanes maria Vianney, Santa Clara  
”Sengsara terberat dalam api penyucian adalah kerinduan yang sangat besar akan Allah”
Ø  Penampakan Bunda Maria di Majugorje, Guadalupe, Lourdes memberi pesan untuk mendoakan jiwa-jiwa di api penyucian

6.    BERDOA BAGI YANG SUDAH MENINGGAL
Berdoa bagi orang-orang yang telah meninggal dunia bukan saja bermanfaat, tetapi juga amat penting. Sayang sekali kebiasaan ini hampir terabaikan. Kita telah lupa bahwa Gereja Katolik terdiri dari tiga bagian yang tak terpisahkan:
·         GEREJA PEJUANG (kita di dunia, yang setiap hari berjuang demi keselamatan kita),
·         GEREJA MENDERITA (jiwa-jiwa di api penyucian) dan
·         GEREJA JAYA (para malaikat dan para kudus di surga). Ketiga gereja tersebut membentuk Tubuh Mistik Kristus dan saling bekerja sama dalam mempertahankan pondasi Gereja.
Jika kita, Gereja Pejuang, lalai berdoa bagi jiwa-jiwa para saudara kita di api penyucian (Gereja Menderita), berarti kita ikut melemahkan pondasi Gereja
Hal paling ampuh yang dapat kita lakukan ialah mengadakan Misa untuk Jiwa-jiwa di Api Penyucian, atau mohon intensi misa (intensi misa = ujub Misa yang terkadang diminta oleh umat) bagi jiwa seseorang yang telah meninggal dunia. Devosi lain yang amat bermanfaat ialah Doa Rosario dan Jalan Salib demi jiwa-jiwa menderita tersebut. Kita juga dapat melakukan matiraga. Semua matiraga kita, bahkan matiraga yang terkecil sekali pun, kita persatukan dengan penderitaan Yesus dan kita persembahkan ke dalam tangan kasih Bunda Maria demi keselamatan jiwa-jiwa di api penyucian. Indulgensi (indulgensi = pengampunan/ penghapusan hukuman dosa di api penyucian) juga berlaku bagi mereka yang telah meninggal dunia. Jadi ingatlah untuk senantiasa berdoa dan melakukan perbuatan-perbuatan baik demi
jiwa-jiwa tersebut.
Sebuah buletin berjudul “The Holy Souls Will Repay Us a Thousand Times Over"(Jiwa-jiwa Akan Membalas Kita Seribu Kali Lipat), mengatakan, “Ketika pada akhirnya jiwa-jiwa di api penyucian telah terbebas dari penderitaan mereka dan menikmati sukacita surgawi, mereka tidak akan melupakan saudara-saudarinya yang masih ada di dunia. Ungkapan rasa terima kasih mereka tidak mengenal batas. Sujud menyembah di hadapan Tahta Allah, mereka tidak henti-hentinya berdoa bagi saudara-saudari yang telah mendoakannya. Dengan doa-doanya, jiwa-jiwa itu melindungi saudara-saudarinya dari mara bahaya serta dari segala kejahatan yang mengancam. Dan kelak ketika saudara-saudarinya itu tiba di api penyucian, jiwa-jiwa itu akan mendoakan mereka sehingga masa tinggal mereka di api penyucian dapat dipercepat dan diperingan atau bahkan mereka dapat memperoleh pengampunan SEUTUHNYA.”
(Imprimatur: Herbert Cardinal Vaughan).
Dalam sebuah dokumen Gereja ”Lumen Gentium” dikatakan :
Pemurnian arwah dapat dibantu lewat doa orang yang masih hidup dan melakukan persembahan kepada Allah yang hidup dalam misa kudus oleh umat.
Untuk itulah dalam setiap kali merayakan perayaan Ekaristi Gereja dalam Doa Syukur Agung selalu mendoakan mereka yang sudah meninggal agar mendapatkan pengampunan dari Allah.

7.    MAKNA DOA PERINGATAN ARWAH
Ibadat peringatan arwah dalam tradisi Gereja Katolik Indonesia terutama Jawa, biasnya diadakan pada 3,7,40,100 hari,1 tahun dan 1000 hari setelah meninggal. Tradisi ini merupakan inkulturasi budaya Jawa dalam Gereja dan kemudian diberi makna lain dalam terang iman Kristiani. Berikut ini diberikan dalam bentuk tabel yang merupakan rangkuman makna dan bacaan dari peringatan arwah.
NO
PERINGATAN
MAKNA
BACAAN YANG SESUAI
1
3 hari
1.  Tiga adalah simbol kesempurnaan. Seperti Allah Tritunggal sendiri sempurna adanya, Bapa, Putra dan Roh Kudus. Kita berharap agar dengan peringatan tiga hari meninggalnya saudara yang kita doakan, dia diampuni dosanya dan jiwanya sempurna di alam baka.
2.  Tiga juga melambangkan kenyataan hidup manusia yang terdiri dari tiga tahap kehidupan. Pertama, dalam kandungan dimana manusia merasa aman dan terlindungi. Kedua, dalam dunia nyata yang penuh tantangan dan kesulitan. Ketiga dalam alam baka dimana segalanya sangat tergantung apa yang kita perbuat di dunia nyata.
3.  tiga juga melambangkan tiga tahap ujian hidup dan kesetiaan kita kepada tuhan. Kita ingat Bagaimana Yesus berkata kepada Petrus sampai tiga kali, ” Petrus apakah kamu mengasihi Aku?”  Kita berharap agar sudara kita yang didoakan lulus dalam ujian pengadilan di alam baka.
Keb 3:1-9;
Mat 28 :1-10
2
7 hari
Doa peringatan arwah pada hari ke tujuh mau mengenangkan kekudusan Allah. Kitab Kejadian menyampaikan pewahyuan kepada kita bahwa Allah memberkati pada hari ke tujuh atau hari sabat. Kita diajak untuk merenungkan bahwa seluruh hari itu hanya untuk Tuhan. Tuhan menganugerahkan hidup dan keselamantan-Nya melaui Yesus Kristus menjadi jalan satu-satunya kepada Allah yang kudus. Kita berharap agar saudara kita diperkenankan masuk ke dalam kediaman Allah yang kudus.  
Ibr4:1,3-7,
10-13 ;
Yoh 14 :1-9a
3
40 hari
Doa peringatan arwah hari ke empat puluh lebih mau merayakan iman kita akan Allah yang memelihara dan memurnikan hidup kita. Umat Perjanjian Lama harus menempuh perjalanan di padang gurun selama 40 tahun sebelum mencapai tanah terjanji. Masa 40 tahun itu bagi umat Israel menjadi masa pemurnian hidup sekaligus masa yang menandakan kasih setia Allah yang senantiasa memelihara, menjaga dan melindungi umat-Nya. Musa, Elia dan Yesus sendiri menjalani masa pengunduran diri atau pemurnian hati selama 40 hari.
Rat 3:22-26
Mat 11:25-30
4
100 hari
Doa peringatan arwah pada hari ke seratus mengungkapkan iman kita akan Allah yang penuh kerahiman dan yang mengasihi setiap diri umat-Nya tanpa mau kehilangan satupun. Tuhan Yesus memberi perumpamaan mengenai gembala yang memilki seratus ekor domba dan bila ada satu yang hilang maka ia akan mencari yang hilang sampai menemukannya.
Yes49:8,14-16
Mat 18 :12-14
5
1 tahun
Doa peringatan arwah 1 tahun mau merayakan iman kita akan Allah yang membebaskan. Dalam Perjanjian Lama, Allah selalu bertindak untuk membebaskan umat-Nya dari belenggu penjajahan dan penderitaan. Dalam Perjanjian baru Yesus mewartakan dan mengahadirkan Allah yang membebaskan ini. Melalui diri-Nya tahun rahmat Tuhan sudah hadir dan dihadirkan di tengah kita. Allah menghendaki manusia terbebas dari belenggu dosa dan maut. Kita berdoa agar saudara kita dibebaskan dari segala kemungkinan kebinasaan abadi dan boleh mengalami pembebasan abadi. 
Rom6:9-15
Luk4 :16-22a
6
1000 hari
Pada umumnya doa peringatan arwah 1000 hari adalah peringatan terakhir. Doa arwah ini mau merayakan iman kita akan Allah sumber dan tujuan dan kepenuhan segala sesuatu yang ada dan segala sesuatu yang hidup. Selain itu juga merayakan iman kita akan kepenuhan karya keselamatan Allahdalam Kristus. Kita berdoa agar saudara kita yang meninggal mendapatkan kepenuhan keselamatan Allah, hhidup bersama Allah di surga.
Yes 25:6a. 7-9
Yoh 17:6-8

 

8.    TUJUH CARA MENGHINDARI API PENYUCIAN
Iman tidak mengajarkan kepada kita secara persis berapa lama hukuman di dalam Api Penyucian. Secara umum kita tahu bahwa hukuman-hukuman itu diukur oleh Keadilan Tuhan. Melalui Gereja yang sedang berjuang di dunia mereka yang ada di Api Penyucian bisa mendapatkan pengurangan hukuman melalui Misa dan dengan doa-doa permohonan lain yang dipersembahkan bagi arwah yang sudah meninggal. Kata Santo Robertus Bellarminus, ” Tak perlu diragukan lagi l bahwa hukuman di Api Penyucian tidak terbatas pada sepuluh, duapuluh tahun dan hukuman-hukuman itu berlangsung sepanjang abad. Sulit sekali dibayangan beratnya hukuman yang berlangsung selama sepuluh atau dua puluh tahun tanpa keringanan sedikitpun. Apalagi membayangkan bahwa hukuman itu tidak terntang antara sepuluh duapuluh tahun.
Iman dan kesadaran kita mengatakan bahwa ketakutan kita terhadap Api Penyucian sudah mendasar. Ketakutan itu sangat mungkin dan hampir pasti bahwa anda akan masuk ke dalam Api Penyucian. Saat jiwa anda meninggalkan dunia ini maka ada tiga pilihan real Neraka, Surga atau Api Penyucian. Apakah anda akan masuk dalam Neraka? Itu tidak mungkin terjadi karena Anda masih memiliki rasa takut untuk berbuat dosa berat, atau andaikan anda melakukannya namun kemudian bertobat. Apakah anda mau masuk Surga ? Anda sendiri akan menjawab tidak pantas masuk ke Surga, karena Surga kudus tak mungkin ada noda sedikitpun. Masih ada satu kemungkinan yaitu Api Penyucian. Hampir pasti anda mengakui akan datang ke sana.
Lalu bagaimana sebenarnya cara yang harus kita manfaatkan agar kita dapat menghindari Api Penyyucian atau setidak-tidaknya memperpendek kita berada dalam Api Penyucian. Jelas sekali bahwa cara itu merupakan latihan rohani dan perbuatan kebajikan. Pastor F.X. Schouppe, SJ menawarkan cara dan sarana yang dapat membantu umat beriman agar dat menghindari Api Penyucian. Cara tersebut adalah :
  1. beriman teguh pada Allah dan kerahiman-Nya.
Hal ini seperti yang diwahyukan Tuhan Yesus kepada Santa Faustina demikian
”Barangsiapa mengandalkan kerahimanKu tidak akan binasa, sebab semua urusannya adalah urusan-Ku sendiri. Jiwa yang mengandalkan kerahiman-Ku paling berbahagia.....”
Dalam kehidupan kita sehari-hari apakah kita sudah hanya mengandalkan Tuhan saja dan bukan mengandalkan tuhan – tuhan lain terutama saat kita mengjhadapi masalah?
  1. menghilangkan penyebabnya yaitu dosa
Dosa merupaksn penyebab utama yang membawa manusia pada kebinasaan. Dosa timbul karena kesombongan manusia yang merasa tidak membutuhkan Tuhan. Dengan demikian manusia tidak bisa menguasai keinginan dagingnya.  
  1. devosi kepada Bunda Maria
Bunda Maria sebagai orang terdekat Tuhan Yesus karena dia yang mengandung-Nya. Ingatlah bagaimana permintaan ibu Maria di pesta Kana bisa meluluhkan hati Tuhan Yesus untuk berbuat sesuatu padahal belum saatnya? Mari kita mohon agar bunda Maria mendoakan kita orang berdosa ini. Doa bunda akan didengarkan Tuhan Yesus.
  1. membuat silih dengan amal kasih
Kasih adalah perintah utama Yesus. Iman tanpa perbuatan adalah mati. Semakin kita mengasihi Tuhan seharusnya kita semakin mengasihi sesama kita.
  1. rela menderita
Penderitaan manusia baik besar atau kecil akan terjadi. Menjalani dengan sabar adalah kunci kemenangan. Kita bisa meneladan Tuhan Yesus saat mengalami penderitaan baik fisik maupun batin karena dihina dan direndahlan serendah-rendahnya. Padahal Dia tidak pantas menerima semua itu. Bahkan penderitaan yang paling dalam adalah Dia merasa ditinggalkan Bapa. Namun penderitaan demi penderitaan dijalani dengan penuh kesabaran dan kerelaan untuk menerimanya.
  1. menerima sakramen-sakramen dengan pantas
Sakramen merupakan tanda dan sarana keselamatan Allah kepada manusia. Dengan kita menerima sakramen kita dimampukan untuk berbuat kasih seperti Yesus baik sebagai imam ,raja dan nabi. Apakah kita menerima sakramen ini terutama sakramen Maha Kudus dengan pantas,  karena kita memiliki harapan akan keselamatan yang datang dari Allah?
  1. menerima kematian dengan pasrah
Setiap manusia pasti akan mengalaminya, entah kapan tiada orang yang tahu persis. Kematian harus kita terima dengan pasarah dan sukarela karena dengan kematian kita masuk pada ruang Illahi. Hanya rahmat dan belaskasih-Nya yanga kita harapkan. Sikap pasrah ini akan muncul kalau kita selalu merasa siap setiap saat kita dipanggil Tuhan. Bagaiaman kita bisa merasa siap? Kalau kita sudah menjalankan poin 1 sampai 6 berarti kita siap mati dalam rahmat Tuhan.  

8.    KEBANGKITAN BADAN
Seorang pakar Kitab Suci Swiss, Oscar Cullmann , secar dramatis mengamati perbedaan tak dapat didamaikan antara konsep Yunanai tentang kebakaan jiwa dan kepercayaan Kristen akan kebngkitan orang mati. Kebakaan jiwa berarti bahwa suatu unsur rohani pribadi manusia yang disebut jiwa hidup terus sesudah kematian terpisah dari unsur jasmani. Sedangkan kebangkitn orangh mati berarti bahwa hidup dipulihkan atau dikembalikan oleh Allahkepada seluruh pribadi. Penting kita camkan bahwa apapun yang dikatakan oleh Perjnjian Baru tentang kebangkitan orang mati bersumber terutama dari kepercayaan akan kebangkitan Yesus. Inilah model tertinggi mengenai bagaimana Kristus menjadi model kehidupan di akhirat. Sebagaimana jelas dari 1 Kor 15 : 13 -14, kebangkitan Yesus adalah inti amanat Kristen: tanpa kebangkitan Yesus kepercayaan kita kosong dan pewartaan kita hampa, tak ada gunanya. 
Kebangjkitan Kristus merupakan penyebab kebangkitan orang mati. Hal ini sangat jelas disampaikan Paulus dalam 1 Kor 15 : 21 – 22.
Sebab sama seperti maut datang karena satu orang manusia, demikian juga kebangkitan orang mati datang karena satu orang manusia. Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus.
Selanjutnya Paulus menyatakan bahwa Kristus adalah buah sulung dari orang-orang yang meninggal (bdk 1 Kor 15 :20).
Tetapi yang benar ialah, bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal.
Kristus berfungsi sebagai penyebab kebangkitan kita, yaitu Ia memberikan kepada kita Roh hidup-Nya. Paulus berkata ”Tuhan adalah Roh” (bdk 2Kor 3:17). Oleh kuasa Roh kita dijadikan satu tubuh dengan Kristus. (bdk 1Kor 12 : 12-13). Oleh kebangkitan-Nya, Yesus menjadi ”Roh yang menghidupkan” (bdk 1 Kor 15:45)
Kebangkitan Kristus mejadi paradigma kebangkitan kita sendiri dalam dua cara yaitu :
·         Seperti kebangkitan Yesus, kebangkitan kita adalah karya Allah (1 Kor 6 : 14)
·         Kristus akan menyerupakan badan kita yang dibangkitkan dengan tubuh-Nya sendiri yang penuh kemuliaan (Flp 3 : 20 – 21)
Kemudian seperti apa tubuh yang mulia itu? Tubuh Yesus setelah bangkit adalah tubuh mulia. Tubuh itu adalah tubuh yang sama tetapi tidak lagi tunduk kepada hukum fisika. Dengan tubuh-Nya yang bangkit, Kristus beralih dari keadaan kematian kepada kehidupan yang lain melampaui rruang dan waktu. Lalu jenis tubuh yang bagaimana, tubuh yang dibangkitkan? Ini adalah pertanyaan yang ditnyakan orang-orang Kristen di Korintus sendiri kepad Paulus.
Hai orang bodoh! Apa yang engkau sendiri taburkan, tidak akan tumbuh dan hidup, kalau ia tidak mati dahulu.
Dan yang engkau taburkan bukanlah tubuh tanaman yang akan tumbuh, tetapi biji yang tidak berkulit, umpamanya biji gandum atau biji lain.
Tetapi Allah memberikan kepadanya suatu tubuh, seperti yang dikehendaki-Nya: Ia memberikan kepada tiap-tiap biji tubuhnya sendiri.  (1Kor 15 : 36 – 38)
Ciri tubuh mulia dinyatakan Paulus dalam 1Kor 15 : 42-44 disebutkan :
1.    tidak dapat binasa
2.    mulia
3.    kuat
4.    rohaniah
Lalu apakah kita setelah bangkit dari kematian kita menggunakan tubuh yang sama itu pula? Tomas Aquinas menyatakan bahwa tubuh kita akan dipulihkan dari debu dan abu. Namun hal ini menjadi tidak bermakna begita kita melihat kenyataan bahwa setiap 7 tahun tubuh itu mengalami perubahan-perubahan fisiologis yang radikal dan seluruhnya hancur setelah kematian. Dapatkah kita masih berpendapat seperti Thomas bahwa untuk mewujudkan tubuh yang sama, tidak hanya semua organ akan bangkit tetapi juga kuku, rambut, cairan tubuh seperti darah, lendir enzim dan sebagainya ?   Coba sekarng kita persulit masalahnya. Jika seseorang mati karena dimakan ikan, kemudian ikan itu dimakan ikan lain yang lebih besar, ikan itu dimakan orang lain lagi, kemudian orang itu dimakan orang lain (kanibalisme), demikian seterusnya. Mata rantai ini bisa berlangsung berbilyun-bilyun kali dan berbilyun-bilyun tahun. Hal ini tidak mustahil karena  sampai saat ini tidak ada orang yang tahu kapan berakhirnya kosmos ini.  Jika kita beranggapan seperti Thomas, bagaimana tubuh kebangkitan orang yang pertama dalam mata rantai makanan itu akan diwujudkan kembli dari abu dan debu, bahkan dari molekul DNA dan RNA???
      Pertanyaan tertakhir ini bukan untuk menyatakan bahwa tidak ada kesamaan antara badan yang mati dan badan yang bangkit. Pertanyaan itu bermaksud :
                         i.      Tidak mungkin memberi jawaban atas pertanyan ilmiah mengenai kesamaan antara tubuh yang sudah mati dan badan yang dibangkitkan dari Kitab suci maupun Magisterium.
                        ii.      Pengertian umum tentang kesaman diri tidak membantu memahami kesamaan pribadi orang yang dibangkitkan dari mati.
                       iii.      Usaha untuk mengatakan sesuatu yang lebih khusus pasti akan menimbulkan lebih banyak pertanyaan dari pada jawaban.
 Iman Kristen hanya menyatakan bahwa ada kesamaan dalam perbedaan, kesinambungan dalam perubahan antara pribadi orang hidup dengan orang yang yang dibangkitkan.Mengenai bagaimana kesamaan dan kesinambungan itu dilestarikan, biologi, psikologi , filsafat dan teologi harus mengusahakan jawaban dan memberi jawaban yang paling masuk akal.
      Meskipun tubuh kita terus menerus berubah selama hidup kita dan menjadi hancur sesudah kematian kita, yang masih tetap ada ialah sifat ragawi yang telah dibangun melalui pilihan-pilihan dan tindakan bebas kita. Sifat badani dan jiwa itulah yang membentuk diri kita dan dari inilah kita dibangkitkan. Dengan kata lain sejarah konkret yang menjadi definitif dan final dalam kematian itulah yang dibangunkan, yakni diterima oleh Allah dan diberi eksistensi yang lain.
      Segala sesuatu yang kita bicarakan akan terasa abstrak saat ini. Kita sekarangpun sebenarnya bisa mengalami hidup baru itu yaitu dalam Ekaristi.
Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia."
Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman.
Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia. (Yoh 6: 51.54.56)
Melalui perayaan Ekaristi itulh kita menerima tubuh Kristus, kita dipersatukan dengan Tuhan sendiri. Inti sari hidup kekal adalah kesatuan erat kita dengan Allah. Hal itu bisa mulai nkita rasakan saat merayakan Ekaristi dimana Kristus hadir kembali di tengah-tengah umat-Nya dalam rupa roti dan anggur. Roti dan anggur itu adalah perwujudan nyata dari Kristus sendiri. Kemudian kita menyambut tubuh-Nya, berati kita dipersatukan dengan Kristus.  Dan Tuhan Yesus sudah berjanji dalam kutipan injil diatas “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman”. Tuhan tidak mungkin akan mengingkari janjinya. Itulah yang akan terjadi dan kita imani sepenuhnya.

9.    PENUTUP
Sebagai penutup dari tulisan saya ini pantas kita renungkan akan kenyataan hidup ini. Kadang kita kurang begitu memberi perhatian kepada kematian kita. Kita sudah terlalu sibuk dengan kegiatan dan aktivitas mengumpulkan barang yang fana. Kadang kita merasa bahkan kematian masih lama mendatangi kita. Sehingga kita tidak terlalu begitu mengahargai kehidupan ini. Atau mungkin kita berpikir bahwa setelah kematian segalanya berakhir, maka memanfaatkan waktu selama hidup dengan foya-foya? Kehidupan kita akan menjadi berarti saat orang merasa disentuh oleh perbuatan kasih kita. Kehidupan akan menjadi berarti saat segalanya bukan diarahkan pada kepentingan pribadi kita. Ingatlah bahwa segala bentuk kebencian dari apa yang kita pikirkan sampai dengan perbuatan real yang langsung merugikan orang lain adalah berpotensi menyeret kita kepada kepastian ke dalam api penyucian bahkan api kekal.
Maka tanpa harus menunggu waktu, tanpa harus menunggu tua, tanpa harus menunggu rambut kita memutih mari kita atur hidup kita, hubungan kita secara pribadi dengan diri sendiri,  orang lain dan Tuhan .  Kematian bisa menjemput kita kapanpun dan dimanapun. Semoga dengan tulisan ini terbukalah wawasan kita akan kehidupan dan kematian kita. Dengan demikian kita semakin menghargai kehidupan ini yang begitu singkat.



DAFTAR PUSTAKA

  1. Alkitab
  2. Aloys Budi Purnomo, Pr
 Rumah Idaman , Pustaka Nusantara 2004
  1. Bert T Lembang
            Bersama Yesus di Tengah Badai Kehidupan , Pustaka Nusantara 2005
  1. DR Harun Hadiwijono
 Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Kanisius 1980
  1. D Suwadji, CM
 Amin ; Tata Cara Wilujengan Katolik, Sang Timur Rembang, 1982
  1. Ernest, Srimariyanto
 Kumpulan Ibadat Lingkungan, Kanisius 1982
  1. F.X. Scouppe, SJ
 7 Cara Hindari Api Penyucian , Tabora Media 2007
  1. F.X. Scouppe, SJ
Apa Benar Ada Api Penyucian , Tabora Media 2007
  1. Georg Kirchberger SVD
Pandangan Kristen Tentang Dunia dan Manusia, Ledalero 2003
  1. Hawasi
Plato Cinta Kepada sang Baik, Poliyama Widyapustaka 2003
  1. Hawasi
Thomas Aquinas ; Menyelaraskan Antara Iman dan Akal,
Poliyama Widyapustaka 2003
  1. Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang
 Peringatan Arwah,  Kanisius 2007
  1. Konkordansi Alkitab
  2. K Bertens
Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, Kanisius 2000
  1. Lukas Wiryadinata
Mengapa kematian ini terjadi, Pustaka Nusantara 2004
  1. Nico Sykur Diester, OFM    
Teologi Sistematika, Kanisius 2004
  1. Peter. C. Phan
101 Tanya Jawab tentang Kematian dan Kehidupan Kekal , Kanisius 2005
  1. P Hendrik Njiolah, Pr
Misteri Kematian Manusia , Pustaka Nusantara 2003
  1. P Dori Wuwur Hendrikus SVD,
Titian Hidup, Kanisus 1995
  1. Yandie Buntoro, CDD  
Seminar Kremasi dan Api Penyucian, Paroki Rasul Barnabas 2007